Monday, November 15, 2010

Post Modern

POST MODERN

Definisi Post Modern menurut para ahli, seperti Robert Venturi, post modern adalah Konsepsi teoritis arsitektur yang memiliki beberapa karakter. Arsitektur postmodern lebih mengutamakan elemen gaya hibrida, komposisi paduan, bentuk distorsif, ambigu, inkonsisten, serta kode ekuivokal, sedangkan menurut Charles Jenks Suatu konsep bersistem yang menjadi azas pendapat untuk memberikan arah dan tujuan, jadi ideological adalah konsep yang memberikan arah agar pemahaman arsitektur postmodern bisa lebih terarah dan sistematis.

Jadi definisi post modern adalah suatu konsep atau fenomena yang muncul akibat keterbatasan konsep modernisme dalam menjelaskan dan menguraikan dinamika kehidupan masyarakat modern yang kian beragam dan rumit. Postmodern diwarnai oleh masyarakat yang kian pluralistik, fragmentasi politik dan kekuasaan, ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan ilmuwan, serta diskursus yang tidak berpadanan (incommensurable discourse).

Karakter Ruang Kota

- Prinsip kontekstualisme berarti adanya pengakuan bahwa gaya arsitektur suatu bangunan

selalu merupakan bagian fragmental dari sebuah gaya arsitektur yang lebih luas.

- Prinsip allusionisme berarti adanya keyakinan bahwa arsitektur selalu merupakan tanggapan

terhadap sejarah dan kebudayaan.

- Prinsip ornamental berarti pengakuan bahwa bangunan merupakan media pengungkapan makna

makna arsitektural.

Fungsi Kota Pada Era Postmodern

- Memberi ruang untuk pergerakan ekonomi dan kegiatan sosial kemanusiaan.

- Memberi ruang untuk kebebasan berekspresi dalam arsitektur dan hak asasi.

- Menjadi sebuah gerakan baru untuk memberikan keleluasaan bagi berbagai faktor rancangan yang tidak pernah tercakup sebelumnya dalam arsitektur modern agar bisa muncul dan terakomodasi.

- Memberikan pembebasan bentuk-bentuk yang sifatnya dekoratif dan simbolik.

Beberapa istilah dalam postmodern

1. Double Coding of Style

Bangunan postmodern adalah bangunan yang memiliki dua gaya (style) yaitu memadukan arsitektur modern dengan arsitektur lainnya, misal: Revivalist-Metaphorical, Local-Kontekstual, dan Commercial.

2. Popular and pluralistic

Ide/gagasan yang umum serta bersifat lebih umum dan tidak terikat dengan kaidah-kaidah tertentu, tetapi memiliki fleksibilitas yang beragam. Hal ini lebih baik daripada gagasan tunggal.

3. Semiotic form

Penampilan bangunan lebih mudah difahami, karena bentuk-bentuk yang vertical yang menyiratkan makna-makna tertentu.

4. Tradion and Choice

Merupakan hal-hak yang tradisional dan penerapannya secara terpilih atau disesuaikan dengan maksud dan tujuan perancang.

Saturday, September 4, 2010

MORFOLOGI, TRANSPORTASI, DAN LINGKUNGAN DI KOTA SAPPORO, JEPANG

EDISI MARET 2008

1.  Trimatra Kota: Morfologi, Transportasi, dan Lingkungan

Kota secara garis besar, terutama dilihat dari makro-fisik kota, bisa dibedakan ke dalam 3 bagian yang besar atau trimatra. Pertama, bentuk kota yang menggambarkan perwujudan fisik kota yang sangat dipengaruhi oleh fungsi lahan perkotaan, termasuk pembagian maupun penggunaan ruang oleh beragam aktivitas dalam kota. Kedua, transportasi kota yang berfungsi sebagai penghubung warga, barang, dan kegiatan manusia antar-ruang kota. Keduanya, menurut Wegener (2005), mempunyai hubungan kuat untuk mempengaruhi kondisi lingkungan kota. Sebaliknya, kondisi lingkungan akan secara langsung memberi umpan balik pada model morfologi sebuah kota dan model transportasinya

Perubahan berbagai faktor dalam sebuah entitas wilayah kota (penduduk, sosial, ekonomi, budaya, lingkungan alam, dan lain sebagainya) akan membawa perubahan pada ketiganya. Perubahan pada morfologi kota membawa perubahan cepat pada transportasi dan lingkungan kota. Sebaliknya kondisi transportasi yang berubah cepat ini, meskipun lambat, akan membawa perubahan pada bentukan dan lingkungan kota selanjutnya. Akibat sifat perubahan yang cepat (fast speed of change) pada matra transportasi ini, maka perubahan kebijakan transportasi kota pun lebih dinamis dibandingkan matra yang lain. Tautan aksi-reaksi ini berjalan begitu dinamis dan menerus-menerus seiring dengan perubahan waktu.

Dewasa ini, masalah pelik isu lingkungan yang makin tidak bersahabat dan beberapa ide responsif untuk mengusung pembangunan yang makin bersahabat dengan masa depan dalam sebuah ruang kota (sustainable urban development), menempatkan ketiga matra ini sebagai titik terpenting menuju perubahan yang lebih baik. Seiring perkembangan ilmu dan teknologi perubahan-perubahan interaksi ketiganya dapat diprediksi jauh hari sebelumnya. Dengan sebuah “urban model” yang berguna untuk mensimulasikan interaksi ketiganya, para pengambil kebijakan makin terbantu tugasnya. Hal ini bermanfaat dalam tataran perencanaan kota, terutama untuk memberi arahan pengembangan kota dalam jangka panjang sekaligus sangat baik dalam tataran evaluasi program terutama untuk menghindari efek buruk perubahan yang telah terjadi.

2.  Perkembangan Model Tautan di Jepang

Riset model tautan morfologi, transportasi, dan lingkungan kota ini telah berkembang dengan pesat, terutama di Amerika, Eropa, dan sebagian kecil Asia terutama di Jepang. Sampai saat ini perkembangan hasil analisis (output) model-model ini makin lengkap dan sangat komprehensif, Namun, penerapannya untuk program nyata masih terbatas, terutama untuk kota-kota metropolitan yang mempunyai kompleksitas permasalahan tinggi dan hanya terlayani oleh beberapa model saja, seperti Tranus (De la Barra, 1989).

Terbukti, berdasar studi Roychansyah (2002) maupun Vichiensan dkk. (2005) untuk Kota Sapporo, Jepang, urban model tersebut (TRANUS) memang mampu memberi arah kebijakan jangka panjang yang paling menguntungkan untuk mendukung skenario pembangunan berkelanjutan. Hasil secara keseluruhan dibandingkan “Do Nothing” atau tanpa kebijakan khusus dan membiarkannya sesuai kondisi saat ini, penerapan sebuah kebijakan yang relevan mampu menghasilkan efek positif untuk jangka menengah maupun jangka panjang. Kombinasi 2 kebijakan yang saling mendukung akan mampu memberi hasil yang lebih optimal lewat beberapa indikator transportasi ramah lingkungan, dibanding penerapan sebuah kebijakan tunggal misalnya. Kebijakan itu adalah kebijakan Cordon Line atau pembatasan eksklusif sebuah daerah dalam kota dengan menarik tarif lebih bagi kendaraan yang memasukinya, kebijakan Prioritas Transportasi Umum (Public Transport Priority) dengan jalan subsidi tambahan untuk kendaraan umum sehingga bertarif lebih murah, dan kombinasi antara keduanya.

Lebih lanjut, perubahan struktur sosial masyarakat yang saat ini terjadi di Jepang secara langsung turut mempengaruhi lahirnya beberapa pendekatan baru dalam penciptaan kualitas hidup yang lebih baik melalui kebijakan-kebijakan wujud kota, transportasi, maupun lingkungannya. Bila kota-kota lain di Asia masih dalam taraf penggelembungan penduduk dan perluasan wilayah kota-kota mereka, maka Jepang saat ini mengalami hal sebaliknya.

Analisis terakhir dari IPSS (National Institute of Population and Social Security Research) tahun 2007 lalu, yang menggunakan data sensus penduduk tahun 2005 sebagai dasar analisisnya, saat ini penduduk manula Jepang (65 tahun ke atas) telah mencapai 20.1% dari total penduduk yang ada. Jumlah ini akan mengalami pelipatgandaan pada tahun 2050 nanti. Jika pada tahun 2005 satu penduduk manula ditopang oleh 3.3 penduduk usia produktif, maka pada tahun 2050 itu penduduk manula hanya akan ditopang oleh 1.3 penduduk usia produktif. Secara langsung ini berpengaruh pada eksistensi kota maupun wilayah di Jepang, yang beberapa di antaranya telah mengalami apa yang disebut genkai shuuraku atau kesulitan untuk menjalankan hidup normal sehari-hari dalam sebuah wilayah dikarenakan menuanya penduduk dan depopulasi yang sangat mencemaskan.

3. Implementasi Kebijakan Kota-Kota Jepang

Dengan melihat kondisi yang terjadi di Jepang, yakni perubahan struktur masyarakat yang makin menyusut dan menua di satu sisi dan tuntutan untuk lebih memprioritaskan keselarasan hidup dengan lingkungan dan masa depan. Di sisi lain, maka beberapa kebijakan kota-kota di Jepang secara umum telah mulai condong untuk mengantisipasi keduanya. Meskipun begitu, beberapa perbedaan besaran masalah dan spesifikasi maupun prioritas kebijakan antara kota besar, menengah, dan kecil sangat berlainan. Tentu saja karena meskipun permasalahan yang dihadapi mirip, tetapi skala masalah maupun karakter wilayah cukup berbeda. Kota-kota yang termasuk 40 besar di Jepang saja mempunyai sebaran yang luas saat dipetakan potensi mereka untuk mengadopsi skenario “Kota Kompak” sebagai salah satu alternatif pembangunan kota yang berkelanjutan.

Di tingkat nasional, untuk mengantisipasi beberapa perubahan yang terjadi, secara garis besar kebijakan kota-kota Jepang diarahkan pada pencapaian keselarasan antara penduduk kota dengan kualitas hidup yang tinggi, dukungan layanan kota dalam kehidupan kota yang optimal sehari-hari, maupun kondisi yang lebih mandiri serta aman dari gangguan atau pun bencana alam. Kebijakan makro kota ini langsung dikendalikan oleh sebuah komite khusus langsung di bawah komando Perdana Menteri, bernama chiiki kasseika tougou honbu kaigou (komisi gabungan kegiatan wilayah). Di dalam komisi gabungan ini terdapat empat komite khusus yang masing-masing membidangi peremajaan kembali kota, peremajaan kembali wilayah, pengoptimalan (kembali) pusat kota, dan reformasi struktur wilayah khusus.

Di bagian lain, pergeseran kebijakan transportasi yang dilakukan tidaklah terlalu fundamental, disebabkan kuatnya aturan baku perkotaan yang telah terbentuk sejak Periode Taisho di awal abad ke-19. Dalam peraturan ini, terutama pemintakatan (zoning) dan pengaturan kembali lahan (land readjustment) secara prinsip tak banyak berubah hingga saat ini. Dewasa ini, upaya pengetatan syarat bagi bahan buangan kendaraan, pengoptimalan penggunaan jalan yang ada, atau pengoptimalan penggunaan kendaraan umum adalah beberapa di antara regulasi yang umum ditemui di beberapa kota dalam upaya menyelaraskan transportasi dengan lingkungan.(Morichi, 2005)

Untuk tingkat lokal, seiring dengan menguatnya otonomi daerah sejak Pemerintahan Perdana Menteri Koizumi Junichiro (2001-2006), kebijakan-kebijakan kota dan daerah seperti yang diindikasikan Yagi (2004), benar-benar variatif, beberapa di antaranya mampu memicu kreativitas kota untuk mengantisipasi tuntutan dan perubahan kondisi yang ada. Selain itu, terjadi kecenderungan yang disinyalir oleh Niikawa (2001) sebagai jalan menguatnya entitas masyarakat dalam pembangunan daerah. Ini terbukti bahwa partisipasi masyarakat dalam menentukan arah kebijakan wilayah mereka tampak makin menjadi sebuah prioritas, misalnya lewat pembangunan (oleh) masyarakat atau lebih dikenal dengan istilah machizukuri di Jepang (Watanabe, 2006).

Beberapa di antara kebijakan lokal ini mampu menjadi bahan masukan bagi pengambil kebijakan di tingkat nasional atau pun sebagai materi belajar daerah lain. Sebagai contoh yaitu suksesnya revitalisasi transportasi publik di Toyama (PORTRAM), sekaligus upaya mendorong kebijakan Transit Oriented Development (TOD). Meskipun begitu, Trinity Reforms yang didominasi oleh upaya “penyapihan” keuangan daerah dari ketergantungannya dengan pusat itu bagi wilayah-wilayah kecil dengan keterbatasan potensi hanya menyisakan sebuah beban tambahan yang begitu berat.

4.  Penutup

Tautan morfologi, transportasi, dan lingkungan di Jepang telah mencapai taraf lanjut dengan implementasi kebijakan yang selaras antar ketiga matra ini. Beberapa perubahan yang tengah terjadi baik di lokal Jepang maupun global telah mampu ditransformasikan ke dalam suatu arahan kebijakan besar yang telah dan siap diimplementasikan lebih lanjut. Meskipun mempunyai latar belakang mapun substansi yang sama sekali berlainan dan banyak tahapan masyarakat Jepang yang belum dialami oleh Indonesia misalnya, namun strategi mereka mengemas dan mengelola wilayahnya dengan karakter yang spesifik tentu akan mampu sebagai sumber inspirasi serupa di kemudian hari.

Review

Secara garis besar, sebuah kota memiliki 3 unsur yang saling berhubungan, yaitu bentuk fisik kota yang dipengaruhi oleh fungsi lahan perkotaan, transportasi yang berfungsi sebagai alat angkut, penghubung antar individu dengan individu lainnya, dan lingkungan yang memberikan umpan balik kepada morfologi sebuah kota dan model transportasinya. Pada review kali ini, yang ingin saya sorot adalah bentuk perkotaan, transportasi, dan lingkungan yang ada di Jepang, yaitu kota Saporro.

Seperti yang kita ketahui, Jepang termasuk Negara maju dan berkembang di Dunia. Banyak inovasi-inovasi, baik berupa barang ataupun ide-ide yang telah dikembangkan di Jepang. Negara ini juga memiliki bentuk kota yang teratur, bangunan yang tertata dengan rapih, transportasi yang lancar, sedikit polusi, jalanan umum yang aman dan nyaman, serta lingkungan yang bersahabat.

Namun, seiring berjalannya waktu, bentuk suatu kota pasti akan mengalami perubahan yang disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu pertumbuhan dan perkembangan penduduk, sosial, ekonomi, budaya, lingkungan alam, dan lain sebagainya. Semua faktor tersebut dapat mempengaruhi morfologi, transportasi, dan lingkungan pada suatu kota. Hal ini terjadi secara cepat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang cepat pula di suatu kota, khususnya kota Sapporo, Jepang. Untungnya ada ilmu yang mempelajari mengenai perkotaan atau urban model yang dapat mempermudah pemerintah untuk menganalisis, merencanakan, membangun, dan mengembangkan suatu kota agar menjadi kota yang aman dan nyaman untuk disinggahi dalam jangka waktu yang panjang.

Walaupun sudah ada ilmu ini, tetapi masih ada kendala yang menghambat pembangunan kota Sapporo, yaitu penerapannya yang sulit karena permasalahan kota yang rumit dan memerlukan biaya yang besar. Urban model tersebut memang mampu memberi arah kebijakan jangka panjang yang paling menguntungkan untuk mendukung skenario pembangunan berkelanjutan. Hasil secara keseluruhan dibandingkan “Do Nothing” atau tanpa kebijakan khusus dan membiarkannya sesuai kondisi saat ini, penerapan sebuah kebijakan yang relevan mampu menghasilkan efek positif untuk jangka menengah maupun jangka panjang. Kombinasi 2 kebijakan yang saling mendukung akan mampu memberi hasil yang lebih optimal lewat beberapa indikator transportasi ramah lingkungan, dibanding penerapan sebuah kebijakan tunggal misalnya. Kebijakan itu adalah kebijakan Cordon Line atau pembatasan eksklusif sebuah daerah dalam kota dengan menarik tarif lebih bagi kendaraan yang memasukinya, kebijakan Prioritas Transportasi Umum (Public Transport Priority) dengan jalan subsidi tambahan untuk kendaraan umum sehingga bertarif lebih murah, dan kombinasi antara keduanya. Kemudian, perubahan struktur sosial masyarakat yang saat ini terjadi di Jepang secara langsung turut mempengaruhi lahirnya beberapa pendekatan baru dalam penciptaan kualitas hidup yang lebih baik melalui kebijakan-kebijakan wujud kota, transportasi, maupun lingkungannya. Bila kota-kota lain di Asia masih dalam taraf penggelembungan penduduk dan perluasan wilayah kota-kota mereka, maka seluruh kota di Jepang, termasuk Saporro saat ini mengalami hal yang bertolak belakang.

Kondisi di Saporro, yaitu mengenai perubahan struktur masyarakat yang makin menyusut dan menua di sisi lain harus bisa memprioritaskan keselarasan hidup dengan lingkungan dan masa depan. Oleh karena itu, Saporro sudah memikirkan hal-hal yang harus dilakukan untuk mengembangkan kota ini. Hal yang pertama dilakukan adalah dengan mengalasis kondisi dan ciri-ciri apa saja yang dimiliki oleh kota Saporro, sehingga dapat mendapatkan output berupa data-data mentah yang siap diolah guna memecahkan permasalahan kota yang ada, termasuk bentuk kota tersebut. Inilah kebijakan yang dipakai oleh pemerinyahan di kota-kota Jepang, termasuk Sapporo sehingga kota-kota tersebut terlihat lebih terorgansir, teratur, indah, aman, san nyaman untuk disinggahi.

Oleh karena itu, kebijakan atau metode ini bisa menjadi kiblat yang bisa ditiru oleh Negara-negara di seluruh dunia agar menjadi kota yang teratur, aman, dan nyaman untuk disinggahi, khususnya kota-kota di Indonesia yang kurang terorganisir dan memiliki banyak permasalahan, seperti di ibukota Indonesia, yaitu Jakarta yang memiliki kontroversi karena ibukota Indonesia itu tidak mencerminkan sebuah kota yang cocok untuk dijadikan ibukota karena segudang permasalahan, contohnya lalu lintas yang padat, dikarenakan jumlah penduduk yang sangat padat di Jakarta dan kendaraan yang terus bertambah seiring berjalannya waktu, lalu Bandar udara Internasional yang masih dibawah standar, dan masalah-masalah lainnya.

ARMIANTO PRAKOSA

L2D009111

http://io.ppijepang.org/article.php?id=238